Pidato SBY di New York

1137443-sby-terima-penghargaan-620X310

Oleh Asrudin (Tulisan ini dimuat Kolom Opini Koran Pikiran Rakyat, Senin, 3 Juni 2013, hlm. 28)

Sebagaimana diketahui, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya menerima penghargaan negarawan dunia atau World Statesman Award (WSA), Kamis (30/5/2013) malam waktu setempat atau Jumat (31/5/2013) pagi waktu Jakarta. Penyerahan penghargaan ini diserahkan Appeal of Conscience Foundation (ACF) di Hotel Pierre New York, AS.

Penghargaan ini diberikan ACF kepada SBY karena dirinya dinilai mampu mempromosikan kebebasan beragama dan menjaga toleransi di Indonesia. Penghargaan itu sendiri diserahkan langsung kepada SBY oleh mantan Menlu AS Henry Kissinger dan Pendiri/Presiden ACF Rabi Arthur Schneier.

Namun penghargaan ini sarat dengan kontroversi. Selain karena dipertanyakannya kredibilitas ACF sebagai pemberi penghargaan (Raja Juli Antoni, 2013 & Antonius Made Tony Supriatma, 2013), SBY juga dinilai banyak pihak tidak pantas menerima penghargaan tersebut, karena gagal menjaga toleransi antar umat beragama. Bahkan Romo Franz Magnis-Suseno sampai melayangkan surat langsung kepada ACF dan mempertanyakan dasar pemberian penghargaan ini. Franz melihat rencana pemberian penghargaan kepada SBY hanya akan mempermalukan organisasi tersebut.

Direktur Human Rights Watch (HRW) Asia John Sifton juga mempersoalkan penghargaan tersebut. Menurut Sifton, SBY gagal melindungi kalangan minoritas untuk menjalankan ajaran agamanya. Hal itu terjadi lantaran SBY memasukkan menteri agama dan menteri dalam negerinya yang terlalu konservatif ke kabinet sebagai bentuk kompromi politik. Selain itu, kata Sifton, terdapat kelompok ekstrimis yang bersikap terlalu berlebihan dan banyak politisi yang diam saja dan tidak berani melawan mereka.

Fakta Lapangan

Apa yang dipersoalkan oleh Franz dan Sifton terkait pemberian WSA terhadap SBY tentu beralasan. Alasan itu bisa dilihat dari sejumlah kasus intoleransi yang terjadi di lapangan dan samasekali tidak dijadikan pertimbangan ACF untuk membatalkan memberikan WSA kepada SBY.

Dalam kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah misalnya, Indonesia dinilai gagal dalam memberikan ruang kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Sejak pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 2008 tentang Ahmadiyah, kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah semakin meningkat. Selain itu SKB juga telah membatasi kegiatan kaum Ahmadiyah di beberapa provinsi Indonesia.

Tidak berhenti sampai disitu, kekerasan atas nama agama juga menimpa kelompok minoritas Syiah. Umat Islam Syiah di kabupaten Sampang Madura, pada 26 Agustus 2012 lalu mendapat perlakuan yang tidak manusiawi oleh kelompok-kelompok yang menilai aliran mereka sesat. Akibatnya beberapa orang pengikut Syiah di Sampang meninggal dunia. Setahun sebelumnya (29 Desember 2011), minoritas Syiah juga pernah mendapat perlakukan yang sama.  Ini jelas merupakan pukulan bagi kaum minoritas, karena negara tidak mampu melindungi mereka dengan memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Jika merujuk pada data, selain Muslim Syiah dan Ahmadiyah, HRW telah melaporkan peningkatan yang ajeg terkait serangan brutal selama beberapa tahun terakhir terhadap orang Kristen. HRW mengutip laporan dari Setara Institute yang mencatat terjadi 264 serangan terkait agama, tahun lalu (2012). Jumlah itu naik dari 244 pada tahun 2011, dan 216 pada tahun 2010.

Seorang pejabat senior Deplu AS, Dan Baer, beberapa waktu lalu juga menyatakan keprihatinan terkait serangan tersebut dan tanggapan tidak efektif Pemerintah Indonesia. Baer menyebut kasus penutupan paksa gereja-gereja, termasuk 50 gereja selama tahun 2012, dan sejumlah masjid Ahmadiyah.

Fakta serupa juga muncul dalam laporan riset Center for Religious and Cross-Culture Studies (CRCS) UGM 2012, yang menyebutkan terdapat dua masalah mendasar dalam peta konflik kekerasan antaragama yang menjadi subpembahasan pada diskursus toleransi di Indonesia, yaitu kasus penodaan agama dan masalah rumah ibadah. Menurut riset CRCS setidaknya terdapat 22 kasus penodaan makna agama, dari kasus Pendeta Haddassah Werner, MTA, dan konflik Rois Hukuma-Tajul Muluk pada kasus Syiah Sampang (Munawir Aziz, 2013).

Dusta SBY

Dengan merujuk pada fakta di lapangan, maka apa yang disampaikan oleh SBY ketika menerima penghargaan WSA di New York bisa dikatakan sebagai dusta kepada rakyat Indonesia, khususnya kaum minoritas.

Ketika SBY dalam pidatonya mengatakan, “Pemerintah tidak akan menoleransi setiap tindakan kekerasan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama. Pemerintah tidak akan membiarkan penodaan tempat ibadah agama apa pun untuk alasan apa pun. Pemerintah akan melindungi minoritas dan memastikan tidak ada yang mengalami diskriminasi. Serta Pemerintah akan memastikan siapa pun yang melanggar hak yang dimiliki kelompok lain akan menghadapi proses hukum,” nyatanya hal itu tidak sepenuhnya dilakukan. Praktik intoleransi justru makin meningkat (lihat laporan Setara Institut 2012 dan CRCS 2012).

Ketika SBY mengatakan “pemerintah terus melakukan langkah untuk memastikan semua penganut agama hidup dalam kebebasan beribadah dan juga hidup secara berdampingan dalam persaudaraan” juga tidak benar.

Di sini, meski SBY dengan sangat meyakinkan menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan tempat ibadah yang melimpah dengan terdapatnya lebih dari 255.000 masjid, 13.000 pura Hindu, 2.000 candi Buddha, dan lebih dari 1.300 kelenteng Confusius, serta memiliki lebih dari 61.000 gereja (lebih banyak jika dibandingkan dengan Inggris dan Jerman), namun dirinya lupa bahwa persoalan toleransi itu tidak bisa diukur melalui meningkatnya jumlah rumah ibadah. Tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana negara bisa menjamin minoritas menjalankan ibadah tanpa rasa takut, sesuatu yang tidak dilakukan oleh SBY. Apalagi kita juga mengetahui, bahwa telah terjadi penutupan secara paksa 50 gereja sepanjang tahun 2012.

Karenanya dengan berbagai kasus intolerasi yang sudah disinggung tadi, maka sesungguhnya Presiden SBY itu lebih layak menerima award Religious (In)Tolerance dari Appeal (Without) Conscience Fondation. Mungkin dengan award seperti ini, hal itu bisa menyadarkan SBY untuk menjadi lebih peka lagi terhadap kelompok minoritas.

Leave a comment