Hipokrisi PKS dan Pemulihan Citra

Oleh PKSAsrudin (Tulisan ini dimuat kolom opini sayangi.com, Sabtu 15 Juni 2013)

Tepat kiranya tahun 2103 ini disebut sebagai tahun politik. Di tahun ini akan banyak kasus-kasus korupsi elite politik terkuak sebelum Pemilu 2014 berlangsung. Untuk itu, bagi elite partai politik (Parpol) yang lengah, bersiaplah untuk mengakhiri kariernya sebagai politikus.

Pada Februari 2013 lalu misalnya, Anas Urbaningrum (AU) memutuskan mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek Hambalang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengalami efek “Tahun Politik 2013”. Tidak tanggung-tanggung, Presiden partai ini, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap terkait pemberian rekomendasi kuota impor daging di Kementerian Pertanian. LHI dan orang dekatnya, Ahmad Fathanah, diduga menerima suap dari perusahaan impor daging, PT. Indoguna Utama, dengan barang bukti senilai Rp 1 miliar. KPK juga menetapkan Direktur PT. Indoguna Utama, Juard Effendi dan Abdi Arya Effendi sebagai tersangka pemberi suap.

Mengikuti jejak AU, LHI pun akhirnya memutuskan untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden PKS, posisinya digantikan oleh Anis Matta. Namun, kasus LHI ini rupanya tidak hanya berimbas pada akhir karier politik pribadinya semata, tapi juga berefek pada citra buruk PKS yang selama ini dikenal sebagai partai dengan slogan “Bersih dan Peduli”. Citra buruk PKS itu tergambar dalam hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), pada Maret 2013 lalu. Menurut survei LSI, akibat terkuaknya kasus suap impor daging sapi yang melibatkan LHI, tingkat keterpilihan PKS langsung turun secara signifikan. Jika pada Pemilu 2009, tingkat keterpilihan PKS berada di angka 7,88%, kini suaranya turun menjadi 3,7%. Suara PKS itu jauh tertinggal dari suara Partai Golkar (22.2%), PDIP (18.8%), Demokrat (11.7%), Gerindra (7.3%), NasDem (4.5%), PKB (4.5%), PPP (4.0%), dan PAN (4.0%).

Menyikapi hal itu, PKS tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan untuk memulihkan citranya dengan berbagai manuver politik. Dalam manuvernya, PKS menuding ada konspirasi politik di balik penetapan tersangka LHI oleh KPK. Penetapan tersangka hingga penahanan yang dilakukan oleh KPK pun dikait-kaitkan PKS dengan Pemilu 2014. PKS menilai, kasus LHI merupakan pertarungan yang tidak sehat menjelang Pemilu 2014. Tidak hanya itu, kasus LHI ini juga disikapi PKS dengan mengancam akan keluar dari barisan koalisi, manuver politik yang sering dilakukan oleh PKS sebelumnya.

Manuver politik “ancam keluar” dari koalisi pemerintahan pernah dilakukan PKS pada kasus tidak dipilihnya Hidayat Nur Wahid sebagai wakil SBY pada Pilpres 2009, atau ketika Tifatul Sembiring diisukan tersingkir dari susunan Menteri menjelang satu tahun usia KIB Jilid II, atau ketika Presiden mencopot menteri PKS, Suharna Surapranata yang sebelumnya menjabat Menteri Riset dan Teknologi, serta kasus Skandal Bank Century. Namun kenyataannya, ancaman PKS itu hanyalah retorika. Meski PKS sering menyuarakan sikap politik yang berseberangan, pada akhirnya mereka bertahan dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) pendukung Pemerintah. Manuver politik PKS seperti ini yang disebut oleh David Runciman (2010), ilmuwan politik dari University of Cambridge, sebagai political hypocricy.

Hipokrisi terhadap kenaikan BBM

Kini hipokrisi PKS kembali ditunjukkan dalam menyikapi rencana Pemerintah menaikkan BBM bersubsidi. Secara tegas PKS menolak kebijakan menaikan harga BBM. Padahal logikanya, partai yang tergabung dalam koalisi itu sudah seharusnya mendukung kebijakan pemerintahan yang berkuasa. Lain soal jika PKS menempatkan partainya sama dengan sikap politik PDI Perjuangan atau Partai Gerindra yang sejak awal menjadi partai oposisi Pemerintah.

Oleh sebab itu, PKS semestinya sudah tahu bahwa keputusan Setgab adalah keputusan bersama. Selain itu, PKS juga paham dengan kondisi APBN dan kewenangan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Di tahun 2013 ini, subsidi BBM diprediksi meningkat sampai Rp 330 triliun lebih dari jumlah APBN sebesar Rp 1.600 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dari subsidi BBM tahun 2012 yang hanya 300 triliun dari jumlah APBN Rp 1.500 triliun. Jika subsidi BBM ini tidak dicabut dan dialihkan untuk jenis bantuan lainnya yang tepat sasaran kepada publik, maka pada 2014 subsidi BBM akan terus membengkak dan menguras APBN.

Menurut hemat penulis, hipokrisi dan penolakan PKS soal kenaikan harga BBM ini adalah strategi untuk perbaikan citra, karena elektabilitasnya yang menurun tajam pasca terkuaknya kasus korupsi elitnya. Ada dua hal yang dapat menjelaskan hipokrisi PKS itu terkait dengan strategi pencitraan. Pertama, entah suatu kebetulan atau tidak, yang pasti PKS memahami sebuah kebijakan itu melalui pemikiran Bruce Bueno de Mesquita, Alastair Smith, Randolph Siverson, dan James Morrow dalam bukunya The Logic of Political Survival. Menurut Mesquita, et al “bad policies can be good politics and good policies can be bad politics”.

PKS melihat, kebijakan menaikan BBM oleh Pemerintah ini “good policies can be bad politics”. Meski kebijakan kenaikan BBM ini bagus untuk menyelamatkan APBN, tapi buruk secara politik karena publik tidak menyukainya. Tidak heran jika kemudian PKS mengikuti logika pemikiran yang kedua dari Mesquita, et al.

Kedua, PKS sudah mengetahui konsekuensi dari menolak kebijakan menaikan harga BBM oleh Pemerintah yang berkuasa. Dalam konteks ini, PKS berharap keputusannya menolak untuk mendukung menaikkan harga BBM akan berimbas pada dikeluarkannya PKS dari Setgab. Apalagi isu dikeluarkannya PKS kian gencar dilontarkan para elite Setgab maupun politisi Partai Demokrat.

Jika PKS jadi dikeluarkan dari Setgab, maka skenario partai terzalimi akan melekat pada PKS. Dan ini bagi PKS akan lebih menguntungkan secara pencitraan karena kecenderungan publik untuk berpihak pada partai yang terzalimi.

Leave a comment